Kemanakah arah Pembangunan Budaya Lokal?

Beberapa minggu belakangan ini, aku didorong untuk menuliskan sesuatu tentang budaya. Walau saya menyadari bahwa saya tidak tahu tentang budaya dengan baik. Saya mencoba untuk membiarkan perasaan itu berlalu, namun tetap saja menggelitik sampai sekarang. Akhirnya aku buka wordpress sebagai sharing atas apa yang aku lihat.

Beberapa waktu setelah aku menjemput anak pulang dari sekolah ke gubug kami, di pertigaan Janti, Yogyakarta, tampak ada sekelompok pengamen memeragakan kepiawaiannya dalam menari. Aneh… Biasanya yang aku lihat pengamen membawa gitar, atau membawa tutup botol yang dibuat alat musik, atau malah dengan bermodal tepuk tangan dan suara pas-pasan unjuk kebolehannya. Pemandangan seperti itu bagiku sudah biasa. Bahkan tidak di hanya di tepi jalan, namun juga di dalam bis, kereta.

Hal yang aneh adalah mereka tidak mengamen dengan “bersenjatakan” gitar atau tutup botol, atau tepuk tangan. Mereka “bersenjatakan” gamelan dan menabuhnya. Beberapa penari mulai unjuk kemahiran mereka dalam menari di hadapan mobil ataupun sepeda motor yang “terpaksa” berhenti karena lampu merah.

Setelah adegan satu “babak” berakhir, mereka menjulurkan tangan mereka untuk “meminta tali asih” dari para pengendara yang menikmati tontonan tersebut. Tanpa paksaan, beberapa pengendara mengulurkan tangan mereka dengan selembar atau sekeping uang. Para sopir dan penumpang terhibur sesaat. Di saat panas terik mentari menyengat, mereka menikmati suguhan tarian yang tak mereka minta.

Beberapa waktu kemudian, saya mencoba melewati jalan lain. Saya pulang melalui jalan Gejayan. Setelah sampai di perempatan condong catur, saya melihat pemandangan yang sama. Tarian yang diiringi gamelan ditunjukkan oleh penari dan penabuh yang tak kenal panas terik mentari. Entah amatir atau profesional. Namun yang aku lihat adalah kegigihan dan ketangguhan mereka dalam mempertahankan tarian dan tabuhan walau hanya satu skrip. Hanya satu babak.

Pertanyaan yang menyelimuti otakku adalah adakah perhatian pemerintah pada seniman macam ini? adakah program kerja pemerintah yang mencoba untuk menghidupkan kembali budaya tradisional yang semakin lama semakin terkikis. Apakah ada kemauan pemerintah untuk mengumpulkan seniman dan menghidupkan kembali seni-seni tradisional?

Saya harus angkat topi pada pahlawan budaya, walau mereka harus melestarikan budaya lokal melalui jalanan. Menantang terik panas matahari yang menyengat di siang hari. Tanpa rasa malu, panas, mereka, dengan pakaian lengkap, menyajikan suguhan budaya lokal. Penari menyuguhkan hiburan bagi para pengguna jalan. Tanpa membedakan ras, bagi pengendara sepeda, sepeda motor, mobil, truk, bis, pejalan kaki, siapa saja dipersilakan menonton sajian budaya tersebut.

Saya berpikir, budaya saat ini sedang mengalami degradasi menuju ke titik nadir kepunahan, titik dimana budaya dengan pelahan akan menghilang. Dulu tarian-tarian tersebut disuguhkan penari untuk menghibur para raja, para pejabat keraton, para tamu kenegaraan. Kemudian, tarian tersebut disuguhkan di gedung-gedung kesenian. Sekarang tarian disuguhkan di jalanan. Besok, tidak ada tempat lagi bagi penari untuk mempertunjukkan tarian, baik tarian “pakem” maupun tarian kreasi.

Hal ini tampak dalam kehidupan di Yogyakarta, Jarang sekali Kraton menyuguhkan tarian untuk raja maupun para tamu kerajaan. Suatu tarian yang juga dapat ditonton oleh rakyat Yogyakarta dengan gratis. Sementara itu, beberapa waktu yang lalu pemerintah Yogya “membongkar gedung seni sono” tempat para seniman mengekspresikan hasil karya dan melestarikan budaya. Di mana lagi mereka akan mengekspresikan tarian mereka? Kreasi mereka? Kapan generasi muda akan ikut serta “nguri-nguri kabudayan”? Tampaknya sudah tidak ada tempat bagi pahlawan budaya untuk mengekspresikan dan melestarikan budaya yang kita miliki.

Tampaknya, pemerintah melalui KTSP telah meminta setiap sekolah memuat kurikulum muatan lokal dengan berbagai pernak-perniknya, dengan segala kesulitan yang dihadapi sekolah dalam menganalisis lingkungan dan potensi daerah, kesulitan mencari guru, membuat standar kompetensi dan kompetensi dasar. Namun kebijakan dibidang pendidikan ini tidak diimbangi dengan fasilitas yang harus disediakan untuk mendukung muatan lokal. Kontrol pemerintah terhadap kandungan (isi, content) muatan lokal tiap sekolah juga kurang. Alhasil, muatan lokal tinggal muatan lokal. Asal siswa sudah mencapai KKM, maka sekolah sudah berhasil dalam mentransfer muatan lokal.

Sebagai contoh, di suatu SMK di Jawa Tengah, muatan lokal sekolah tersebut adalah bahasa Jawa. ketika ditanya bagaimana asal muasal muatan lokal bahasa Jawa, banyak guru yang tidak tahu. Dapat diduga bahwa muatan lokal di sekolah tersebut ditentukan oleh pimpinan tanpa memperhatikan prinsip-prinsip pengembangan muatan lokal. Tanpa memperhatikan visi-misi daerah (kabupaten) tersebut. Bahkan guru, ketika ditanya apa visi misi sekolah tersebut, guru tidak tahu. Ini adalah hal yang aneh.

Kemandirian, otonomi sekolah atas kurikulum (baca desentralisasi pendidikan) belum sepenuhnya terjadi di sekolah di Jawa, apalagi di luar Jawa (maaf, tanpa maksud diskriminasi). Departemen pendidikan nasional kurang (tidak) dapat mengontrol pelaksanaan KTSP di setiap daerah yang dapat menunjang pembangunan daerah tersebut dan kelestarian kebudayaan asli daerah.

Kemanakah arah pembangunan budaya di dalam kurikulum? Tampaknya belum jelas. Pemerintah melalui LPMP, KKG, MGMP dan organisasi-organisasi kependidikan yang sejenis perlu melakukan binaan pada setiap sekolah. harus ada pendampingan kepada sekolah secara riil tanpa pungutan atau uang saku. Uang saku berasal dari diknas, bukan berasal dari sekolah. Bukan hanya dana tetapi juga fasilitas yang diperlukan, sebagai contoh, wayang, gamelan, text books tentang budaya, jenis-jenis alat musik dari daerah lain, dan sebagainya. Juga yang penting adalah ada garis tentang kebijakan budaya dari pemerintah, baik pusat maupun daerah, dan disosialisasikan kepada setiap sekolah.

Penghargaan kepada seniman juga perlu diperhatikan. Saat ini guru menjadi “anak emas” pemerintah. Anggaran pemerintah tersedot minimal 20% ke sektor pendidikan. APakah budaya juga mendapat bagian dari 20% anggaran ini atau mendapat bagian dari sektor yang lain. Apabila mendapat bagian, berapa persen yang didapat.

Saya teringat jelas pesan kakek sebelum beliau meninggal. Sebelum kakek meninggal, dia pernah berujar, wong Jowo ki wis kelangan Jawane, Suk nek arep sinau Jowo ndhadhak ning monco. Tampaknya hal ini juga perlahan-lahan terbukti. Justru orang asing yang banyak belajar kebudayaan kita. Banyak Turis yang belajar bahasa Jawa, belajar Wayang kulit, bahkan saat saya menulis ini saya mendengarkan siaran wayang kulit dari Kebumen dengan dalang Ki Enthus. Dalam wayang tersebut, ki Enthus menyebut bahwa ada orang yang berasal dari Belanda yang ikut menonton Wayang tersebut. Sungguh hal yang bagi saya sangat ironis.

Saya sendiri tidak bisa berbahasa Jawa dengan baik, namun orang luar negeri dapat berbahasa krama dengan lancar. He..he…he…
Saya sungguh malu. Apakah pemerintah juga mempunyai rasa malu?

Mari kita bangun budaya kita dengan menanamkan budaya tersebut melalui pendidikan yang nyata, tidak hanya kognitif, namun juga afektif dan psikomotorik.

Jaya Indonesia dengan Keberagaman Budaya yang SUNGGUH LUAR BIASA…..

Yogyakarta, 4 Juli 2009 dini hari pkl 1.27.